Selamat datang di web-blog AIC Group. Terima kasih atas kunjungan anda di web-blog ini. Semoga seluruh informasi yang ada di dalam web-blog ini berguna untuk semua. Seluruh informasi yang ada dalam web-blog ini sifatnya umum dan diambil dari berbagai sumber. Bagi yang ingin menyumbangkan tulisan dan bermanfaat untuk semua, silakan hubungi admin. Jangan anggap tabu lagi untuk berbicara soal seks, sebelum anda sendiri mengalaminya sendiri.

01 September 2009

MENYIKAPI PUBERTAS ANAK

Proses tumbuh-kembang anak pasti melalui masa pubertas.Ketika hormon berubah, fisik dan psikis anak pun berubah. Bagaimana menyikapinya?

Setiap orangtua yang punya anak remaja tentu pernah merasakan perubahan fisik dan perilaku putra- putrinya manakala memasuki periode pubertas.

Masa puber berlangsung antara usia 12?18 tahun yang diawali prapubertas, yakni peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Pada fase ini, anak biasanya menunjukkan sikap tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi dan mulai tumbuh sikap kritisnya. Dalam hal fungsi tubuh, anak mencapai titik kematangan tertentu.

Untuk wanita ditandai menstruasi, payudara membesar, tumbuhnya rambut kemaluan dan rambut ketiak, pertumbuhan badan, dan muka yang rawan berjerawat. Anak wanita umumnya mengalami hal ini pada rentang usia 7?13 tahun. Sementara anak laki-laki biasanya kejadiannya lebih lambat, sekitar usia 10?14 tahun.

Adapun ciri yang khas adalah mimpi basah, perubahan suara, rambut di badan, dan jakun yang mulai tumbuh. Masa pubertas umumnya terjadi pada usia 14?16 tahun dan merupakan awal masa remaja. Secara alamiah, seseorang yang memasuki masa pubertas akan mengalami sejumlah perubahan, yang antara lain disebabkan perubahan hormon yang kemudian memengaruhi fungsi otak.

"Selain untuk berpikir, otak merupakan pusat bahasa dan emosi. Rasa marah, bahagia, putus asa, malas, meledak-ledak, tidak punya inisiatif, juga dipengaruhi fungsi kerja otak. Pada anak yang sedang puber, aspek emosional biasanya sangat berperan terhadap perubahan perilaku," kata psikolog Tika Bisono.

Adapun beberapa perubahan perilaku yang biasanya dialami anak puber di antaranya cemas dan bingung dengan perubahan fisik, lebih memperhatikan penampilan, sikap yang tidak menentu atau plinplan, dan suka berkelompok atau membentuk gank bersama teman sebaya atau senasib. Jika tak disikapi dengan bijak, perubahan pada "si anak puber" tak jarang menjengkelkan orangtua sehingga timbullah konflik.

Baik berakar dari egositas anak yang memang sedang tinggi-tingginya maupun ketidaksabaran dan kekurangpahaman orangtua akan aspek perubahan fisik dan emosional anak. Diena Haryana dari Yayasan Sejiwa mengemukakan, salah satu hal yang sering kali jadi masalah adalah ketika anak ingin mengajak orangtuanya pergi bersama.

"Maunya si anak yang mengatur waktu, padahal terkadang pada saat bersamaan orangtua juga punya kesibukan lain. Ini sering kali jadi bahan ngotot-ngototan antara anak dan orangtua. Untuk itu, perlu disikapi dengan bijak," tandasnya.

Perlu Siasat

Pubertas sebagai salah satu tahap perkembangan sebenarnya bisa "dipersiapkan" sejak dini. Artinya, bekal fisik dan mental bisa ditanamkan perlahan dan dibiasakan pada setiap tahap perkembangan anak sebelum memasuki masa puber.

"Yang harus dipertimbangkan oleh orangtua sejak anak lahir, adalah bahwa setiap anak punya 'tugas' atau 'target' yang perlu dicapai pada setiap tahap perkembangan. Selain nature (faktor gen/keturunan), aspek nurture seperti pendidikan luar dan adaptasi juga berperan penting," ujar Tika Bisono.

Sayangnya, lanjut dia, keseimbangan antara kedua aspek tersebut (nature dan nurture) sering kali tidak tercapai. Akibatnya, target pada satu fase perkembangan tidak tercapai dan terbawa ke fase perkembangan berikutnya.

"Itu sebabnya ada anak yang matang terhadap satu hal, tapi tidak matang terhadap hal lain. Untuk itu, pendidikan harus direncanakan. Itu solusinya," ungkapnya.

Ketika anak beranjak puber, perbedaan pendapat dengan orangtua kerap jadi sumber masalah. Orangtua seharusnya jangan menganggap perbedaan itu sebagai bentuk pembangkangan si anak, melainkan pengayaan pikiran.

"Orangtua sering kali rese kalau anak remajanya berbeda.Akibat tidak sejalan dengan mindset orangtua, sering kali cara berpikir anak yang berbeda dianggap aneh atau absurd oleh orangtuanya. Padahal, perbedaan harus berkembang dan dihormati. Luangkan waktu untuk mendengarkan dan menjelaskan dengan sabar," urai Tika.

Membangun kredibilitas dan reliabilitas juga penting dilakukan orangtua. Ini juga tugas yang cukup berat dan kerap terabaikan. Contoh kecil, anak biasanya tidak suka kalau rahasianya disebarluaskan, atau kalau orangtua masuk kamar, lalu membaca diary si anak.

Jika sudah tahu demikian, jangan lakukan dan hormati privasinya sehingga si anak juga akan belajar menghargai privasi orang lain, termasuk orangtuanya.

"Membangun kepercayaan adalah salah satu tugas sulit. Triknya, orangtua harus mau belajar. Sejak kecil, tunjukkan sikap peduli dan biasakan ngobrol dengan anak. Boleh saja ingin tahu, tapi bukannya ngeresein," tegasnya.

Tak kalah penting, sambung Tika, adalah soal waktu. Sering kali anak marah-marah karena orangtua hanya punya sedikit waktu untuknya. Setidaknya, tunjukkan bahwa orangtua berupaya memperjuangkan waktu untuk anaknya. Dengan demikian, bisa terwujud rasa saling toleransi dalam hubungan orangtua-anak.

Sementara itu, menurut Diena Haryana, orangtua harus sadar bahwa masa puber pada anak adalah saat-saat penting dalam upaya menghantarkan kedewasaan anak. Untuk itu, kasih sayang dan sikap respek terhadap orang lain perlu ditanamkan dan ditunjukkan orangtua sebagai panutan.

"Kalau orangtuanya saja tidak respek, bagaimana anak bisa punya respek terhadap orang lain," ujarnya.

Kesabaran orangtua dalam menjelaskan dengan bahasa yang halus juga diperlukan, terutama ketika anak timbul sikap ego dan otoriternya. Jangan sampai orangtua terpancing ikut-ikutan emosi yang akhirnya bisa berbuah konflik.

"Jelaskan dengan bahasa lembut tapi tegas. Artinya tidak membentak, tidak memakai kata-kata yang tajam, dan tetap penuh kasih," sarannya.

Sikap membanding-bandingkan, menyalahkan (blaming), terlalu menggurui, atau menasihati sebaiknya juga dihindari, sebab bisa memprovokasi emosional anak. "Ganti dengan menawarkan solusi, saran, atau pilihan. Selain itu, jika orangtua bersalah, jangan sungkan meminta maaf," pungkas Diena.

Tidak ada komentar: