Selamat datang di web-blog AIC Group. Terima kasih atas kunjungan anda di web-blog ini. Semoga seluruh informasi yang ada di dalam web-blog ini berguna untuk semua. Seluruh informasi yang ada dalam web-blog ini sifatnya umum dan diambil dari berbagai sumber. Bagi yang ingin menyumbangkan tulisan dan bermanfaat untuk semua, silakan hubungi admin. Jangan anggap tabu lagi untuk berbicara soal seks, sebelum anda sendiri mengalaminya sendiri.

13 Agustus 2008

WILAYAH KRATON YOGYAKARTA

Kraton Yogyakarta dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1756 di wilayah Hutan Beringan. Nama hutan tersebut kemudian diabadikan untuk nama pasar di pusat kota yaitu Pasar Beringharjo. Sedang istilah Yogyakarta berasal dari kata Yogya dan Karta. Yogya artinya baik dan Karta artinya makmur. Namun pengertian lain mengatakan bahwa Yogyakarta atau Ngayogyakarta itu berasal dari kata dasar AYU+BAGYA+KARTA yang dibaca Ngayu+bagya+karta menjadi Ngayogyakarta.

Wilayah Kraton Yogyakarta membentang antara Tugu (batas utara) dan Krapyak (batas selatan), antara Sungai Code (sebelah timur) dan Sungai Winongo (sebelah barat), antara Gunung Merapi dengan Laut Selatan.

Bangunan tugu yang merupakan batas utara wilayah Kraton Yogyakarta berjarak sekitar 2 km dari Kraton. Bangunan tersebut pada jaman dahulu berbentuk Golong-Gilig (golong=berbentuk bulat pada bagian atas; gilig=berbentuk pilar yang meruncing ke atas). Golong Gilig berarti Manunggaling Kawula Gusti (Manunggalnya raja dengan rakyat sekaligus menunggalnya manusia dengan Tuhan).

Ketika terjadi gempa bumi yang sangat hebat tahun 1867, bangunan tersebut mengalami kerusakan yang cukup berat. Maka bangunan tersebut dipugar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tahun 1889, tetapi bentuknya diubah seperti yang kita lihat sekarang ini. Antara tugu dengan Bangsal Manguntur Tangkil (tempat singgasana raja) berada dalam garis lurus/simetris. Ini mengandung arti bahwa ketika Sultan duduk di singgasananya dan memandang kea rah Tugu, beliau akan selalu mengingat rakyatnya.

Selanjutnya antara Tugu hingga Kraton terdapat jalan utama yang disebut Malioboro. Dimana asal nama Malioboro ada yang berpendapat berasal dari kata Marlbourgh yaitu nama seorang Jenderal Inggris. Oleh Raffles, ketika berkuasa di Yogyakarta (pada jaman pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II) nama tersebut kemudian diabadikan sebagai nama jalan di pusat kota Yogyakarta yaitu jalan Marlbourgh. Namun pendapat lain mengatakan bahwa penyebutan Malioboro itu terkait cita-cita Sri Sultan Hamengku Buwono I yang melihat jalan tersebut sebagai pengejawantahan jalan hidupnya, yaitu Mulyane Saka Bebara (Mulyabara) yang kemudian terjadi perubahan pengucapan menjadi Maliyabara atau Malioboro yang berarti kemulyaan dan kejayaan hidup yang dicapai lewat laku keprihatinan.

Di sebelah timur jalan Malioboro terdapat Gedhong Kepatihan yang pada jaman dahulu berfungsi sebagai Kantor Pepatih Dalem. Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan tersebut kemudian digunakan sebagai Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari gerbang Kepatihan kea rah selatan sekitar 250 meter jaraknya terdapat Pasar Beringharjo yang merupakan pasar terbesar di Yogyakarta.

Di sebelah selatan pasar tersebut terdapat bangunan Benteng Vredeburg yang berarti Benteng Perdamaian. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, benteng ini digunakan sebagai tempat perlindungan bagi para residen yang bertugas di Yogyakarta. Kantor Residen terletak di seberang sebelah barat Benteng Vredeburg dan kemudian disebut Gedung Agung yang hingga kini berfungsi sebagai Istana Kepresidenan.

Kea rah selatan sekitar 200 meter dari bangunan Gedung Agung terdapat Gapura Pangurakan yang merupakan pintu gerbang menuju Kraton Yogyakarta.

Kraton Yogyakarta ini menghadap ke arah utara dengan halaman depan berupa lapangan yang disebut Alun-alun Lor (Alun-alun Utara) yang pada jaman dahulu dipergunakan sebagai tempat mengumpulkan rakyat, latihan perang bagi para prajurit kraton dan tempat penyelenggaraan upacara adat serta untuk keperluan lainnya. Pada masa sekarang fungsi Alun-alun Lor hanya digunakan untuk Upacara Garebeg dan Perayaan Sekaten. Dibagian tengah Alun-alun Lor terdapat dua pohon beringin yang dikelilingi oleh tembok yang disebut Beringin Kurung. Dua pohon beringin yang terletak bersebelahan itu masing-masing bernama Kyai Dewadaru (sebelah barat), bibitnya berasal dari Majapahit dan Kyai Wijayadaru (sebelah timur), bibitnya berasal dari Pajajaran.

Kedua pohon beringin itu sebagai simbol bahwa di dunia ini terdapat dua sifat berbeda yang saling bertentangan (dualism). Sedangkan pohon beringin yang mengelilingi Alun-alun Lor ini jumlahnya 62 pohon serta ditambah dengan 2 pohon yang berada di tengah sehingga jumlah seluruhnya menjadi 64 pohon beringin. Jumlah 64 ini menunjukkan usia Nabi Muhammad SAW ketika beliau wafat (menurut perhitungan tahun Jawa).

Di seputar Alun-alun Lor terdapat beberapa bangunan yang disebut Pekapalan berbentuk Joglo sebanyak 19 buah yang pada jaman dahulu berfungsi sebagai tempat untuk menginap bagi para bupati dari luar wilayah pada waktu menjalankan tugas di Kraton atau apabila di Kraton sedang diselenggarakan Upacara Kenegaraan.

Di sebelah barat Alun-alun Lor terdapat Masjid Agung yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I tahun 1773. Masjid ini sampai sekarang masih berfungsi. Sedang di bagian sudut tenggara Alun-alun Lor terdapat kandang untuk memelihara macam yang disebut Kandang Macan.

Pusat wilayah Kraton Yogyakarta luasnya 14.000 meter persegi dengan dikelilingi tembok benteng setinggi 4 meter dan lebarnya 3,5 meter. Di setiap sudutnya terdapat tempat penjagaan atau bastion, yang digunakan untuk melihat/mengawasi keadaan luar maupun di dalam benteng kraton Yogyakarta. Di sebelah luar benteng dikelilingi parit yang dalam, yang disebut Jagang (sekarang sudah menjadi pemukiman penduduk).

Untuk menghubungkan antara wilayah dalam benteng dengan daerah di luar benteng Kraton, ada 5 pintu gerbang yang disebut plengkung antara lain :
Plengkung Nirbaya (Gading) di sebelah selatan.
Plengkung Jagabaya (Tamansari) di sebelah barat.
Plengkung Jagasura (Ngasem) di sebelah barat laut.
Plengkung Tarunasura (Wijilan) di sebelah timur laut.
Plengkung Madyasura (sebelah barat THR) di sebelah timur.


Plengkung yang disebut terakhir ini dahulu pernah diruntuhkan pada jaman Sri Sultan Hamengku Buwono II, ketika terjadi peperangan melawan pasukan Inggris (peristiwa Geger Spei) sehingga tersumbat dan tidak bisa dilalui. Maka lebih dikenal dengan sebutan Plengkung Buntet (tertutup). Diantara kelima plengkung itu hanya dua yang masih tampak utuh yaitu Plengkung Nirbaya (Gading) dan Plengkung Tarunasura (Wijilan).

Selanjutnya di sebelah selatan (belakang) Kraton, sebelum sampai Plengkung Nirbaya, terdapat alun-alun yang luasnya lebih kecil dari Alun-alun Lor yaitu Alun-alun Kidul. Di bagian tengahnya juga terdapat dua pohon beringin yang disebut Beringin “WOK” yang juga dikelilingi tembok.
Di sebelah barat Alun-alun Kidul terdapat bangunan untuk memelihara gajah yang disebut Gajahan. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X, fungsi Gajahan dihidupkan kembali untuk memelihara gajah hingga masa sekarang.


Selanjutnya dari Kraton ke arah selatan sekitar 2 km jaraknya, terdapat bangunan berupa panggung yang disebut Krapyak. Pada jaman dahulu di bagian atas panggung itu digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan para prajuritnya berburu rusa atau binatang lainnya. Bangunan ini sampai sekarang masih ada dan berada dalam garis simetris/lurus dengan kraton dan tugu. Bangunan Krapyak ini adalah batas selatan wilayah Kraton Yogyakarta.

Tidak ada komentar: